Kasih Tuhan Dalam HubunganSampel
Belajar Mengasihi Tanpa Syarat Melalui Pernikahan
Mengapa Anda ingin menikah? Sebagian dari kita mungkin menjawab, “Karena perintah Tuhan untuk beranak-cucu,” “Karena sudah umurnya,” atau “Supaya memiliki teman hidup.” Itu semua adalah motivasi yang valid untuk menikah. Namun, belum cukup kuat untuk membangun pernikahan yang kokoh dan mempertahankannya di saat badai kehidupan menerpa.
Bagaimana jika pernikahan kita tidak kunjung dianugerahi anak? Apakah umur menjamin kedewasaan seseorang dalam bersikap? Bagaimana kalau pasangan kita tidak memiliki minat yang sama dengan kita? Bagaimana jika pada akhirnya kita tetap merasa kesepian meski sudah menikah? Sangat penting untuk memiliki tujuan menikah yang jelas dan sesuai dengan rancangan Tuhan, karena Tuhanlah yang merancang pernikahan. Hanya Tuhan dan prinsip-prinsip-Nya yang sanggup membuat pernikahan menjadi seperti surga di bumi.
Rasul Yohanes menulis di dalam 1 Yohanes 4:11-12, “…jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.” Kasih itu berasal dari Allah (1 Yohanes 4:7) dan kehendak-Nya adalah agar kita saling mengasihi. Ketika kita saling mengasihi, kasih Allah menjadi nyata dan sempurna. Orang-orang yang tidak mengenal Allah dapat melihat-Nya melalui kasih yang nyata di dalam kehidupan kita. Kita dapat belajar saling mengasihi di gereja, di tempat kerja, di keluarga, dan di mana pun kita berada. Namun, di pernikahanlah tempat yang paling membentuk, melatih, memurnikan kasih kita. Pernikahan dirancang untuk hubungan komitmen yang begitu intim antara laki-laki dan perempuan, yang hanya dapat dipisahkan oleh maut. Sebuah hubungan yang begitu dekat, kesatuan antara dua insan yang berbeda (Kejadian 2:24), dalam periode seumur hidup, yang tentu saja pada akhirnya akan menghasilkan gesekan yang paling luar biasa juga. Itulah mengapa pernikahan adalah sarana yang paling membentuk kita untuk belajar saling mengasihi seperti Allah mengasihi kita. Tanpa kasih yang sedemikian rupa, pernikahan sulit untuk berhasil.
Pernikahan di bumi dirancang Tuhan sebagai cetak biru hubungan Kristus dengan Jemaat/Gereja (Efesus 5:32). Suami ditetapkan Tuhan sebagai kepala, sama seperti Kristus adalah kepala jemaat (Efesus 5:23). Seperti Kristus mengasihi jemaat, suami mengasihi istri seperti tubuhnya sendiri (Efesus 5:28) dan berkorban untuknya (Efesus 5:25), menguduskan, memandikannya dengan air dan firman (5:26). Sementara istri adalah tubuh, sama seperti jemaat adalah tubuh Kristus (Ef 5:23-24, 29-30). Seperti jemaat tunduk kepada Kristus, tubuh tunduk kepada kepala, istri juga tunduk kepada suami (Efesus 5:22) dan menghormati suaminya (Efesus 5:33). Semua ini sulit dilakukan tanpa kasih Allah yang memampukan kita. Suami dan istri kita dapat mengecewakan kita. Mereka tidak sempurna. Namun kita dipanggil untuk mengasihi dan menghormati pasangan kita. Di saat perasaan kita tidak mendukung, kita dapat belajar taat untuk tetap melakukan apa yang benar karena kita mengerti kehendak Tuhan atas pernikahan itu sendiri.
Sama seperti kesatuan Kristus dengan jemaat itu tidak terpisahkan, demikian juga halnya dengan kesatuan antara suami dan istri. Pernikahan adalah sebuah ikatan kesatuan (union) antara pria dan wanita seumur hidup (Kejadian 2:24). Kesatuan ini hanya dapat terpelihara ketika masing-masing individu ‘mati’ bagi dirinya sendiri dan mengutamakan kepentingan pasangannya. Bila sudah menikah, kita tidak dapat lagi mendahulukan kepentingan kita sendiri atau orang lain di atas pasangan kita. Bila kita melakukannya, maka pasti pernikahan kita akan sengsara. Inilah mengapa pernikahan dapat menjadi sarana yang paling membentuk karakter dan kedewasaan, karena hanya dengan melepaskan keegoisan, kita dapat menciptakan pernikahan yang dapat dinikmati. Pernikahan bukanlah sarana yang secara instan mendatangkan kebahagiaan, tapi pernikahan justru membentuk kita menjadi kudus terlebih dahulu, baru setelah proses tersebut, kebahagiaan yang sesungguhnya akan menjadi buah manis dari pernikahan.
Untuk membangun pernikahan yang penuh kasih, kita perlu terus-menerus mengisi diri kita dengan kasih Tuhan yang begitu besar. Kita perlu mengandalkan Tuhan. Tangki kasih manusia bisa habis, namun kasih-Nya yang akan memampukan di saat kita merasa tidak ingin lagi mengasihi. Bila Anda sudah menjadi orang tua, hadiah terbesar bagi anak Anda adalah ketika mereka melihat Anda dan suami/istri Anda saling mengasihi. Ini akan memberikan mereka rasa aman dan kepercayaan diri serta menjadi fondasi yang kuat sehingga mereka mengenal kasih Tuhan dalam kehidupan mereka.
Pada hari ini, ambillah keputusan untuk mengisi tangki kasih Anda dengan kasih Tuhan yang memampukan Anda untuk mengasihi dan menghormati pasangan Anda, sebagaimana Tuhan kehendaki. Keberhasilan pernikahan Anda dibangun dari langkah kecil untuk mengasihi Tuhan, mengasihi istri seperti tubuh sendiri, menghormati suami seperti kepada Kristus (kepala), mati kepada kepentingan sendiri, dan taat melakukan apa yang benar terlepas dari perasaan Anda saat ini. Kasih Kristus akan memampukan Anda untuk saling mengasihi satu sama lain.
Bagaimana kalau Tuhan merancang pernikahan untuk menguduskan kita, lebih daripada untuk membuat kita bahagia? – Gary Thomas
Firman Tuhan, Alkitab
Tentang Rencana ini
Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama adalah perintah yang terutama bagi setiap orang percaya, seperti yang dinyatakan oleh Yesus. Yang membedakan kita sebagai orang percaya dalam menjalin hubungan adalah kita membangunnya berlandaskan kasih Tuhan. Kasih yang Tuhan sudah berikan dan tunjukkan kepada kita adalah kasih yang kita teruskan dalam hubungan dengan orang lain, sehingga mereka juga dapat merasakan kasih luar biasa yang sudah kita terima.
More
Kami mengucapkan terima kasih kepada Jakarta Praise Community Church yang telah menyediakan rencana ini. Untuk informasi lebih lanjut, silakan mengunjungi: https://jpcc.org/